Asma dikenal sebagai penyakit yang tidak menular, tetapi dapat diturunkan. Artinya, jika salah satu atau kedua orangtua menderita asma, besar kemungkinan anaknya juga terkena asma atau membawa "bakat" asma.
Kabar baiknya, "bakat" tersebut tidak akan bermanifestasi menjadi asma jika faktor pencetusnya dihindari. Nah, faktor-faktor yang dapat mencetuskan asma bisa beragam dan berbeda pada setiap orang, misalnya makanan dan debu. Para ahli medis meyakini bahwa asma sangat dipengaruhi kebersihan lingkungan. Semakin kotor udara dan lingkungan sekitarnya, semakin mudah pula anak-anak mengalami alergi saluran napas yang lantas memicu peradangan.
Sebuah studi di Amerika melaporkan, anak-anak yang sejak bayi kerap terpapar polusi lalu lintas dan endotoksin berisiko lebih tinggi mengalami asma. Endotoksin merupakan salah satu komponen bakteri yang bersifat toksin (racun), yang dapat memicu respons sistem kekebalan tubuh seseorang. Nah, endotoksin ini ternyata juga ditemui pada debu dalam ruangan.
Dalam studi terbaru ini, tim peneliti dari University of Cincinnati College of Medicine menemukan adanya mengik pada 36 persen anak usia tiga tahun yang saat bayi sering terpapar partikel polusi udara dan endotoksin dalam debu. Mengik adalah suara keras yang terdengar ketika bernapas. Kondisi yang juga kerap disebut bengek ini merupakan penanda awal asma dan gangguan paru.
Gejala mengik terlihat pada 11 persen anak yang saat bayi terpapar allergen (pemicu alergi) berkadar rendah di dalam maupun luar ruangan. Sementara anak yang terpapar polusi lalu lintas tingkat tinggi dan endotoksin di dalam ruangan angkanya lebih tinggi, yakni 18 persen. Paparan endotoksin sendiri menunjukkan dampak yang lebih sedikit pada anak.
"Ada keterkaitan yang nyata antara paparan partikel polusi udara lalu lintas dan endotoksin dengan timbulnya mengik berkepanjangan saat anak berusia tiga tahun," ujar ketua tim peneliti, Patrick Ryan.
Ryan menambahkan, dua sumber paparan tadi (terutama bila kadarnya tinggi) dapat saling bersinergi sehingga paparan dalam jangka panjang dapat membahayakan kesehatan paru anak. Gangguan kesehatan paru pada anak biasanya berlangsung hingga anak berusia 18 atau 20 tahun.
"Makin dini anak terpapar partikel polusi, makin besar dampaknya bagi kesehatan jangka panjang," ujar Ryan, yang hasil risetnya akan diterbitkan dalam American Journal of Respitaroty and Critical Care Medicine, awal Desember mendatang.
Dibandingkan penyakit paru yang didapat saat dewasa, gangguan paru akibat paparan dini endotoksin dan polusi lalu lintas bisa lebih berbahaya. Apalagi jika hal ini terjadi sejak bayi, proses pembentukan antibodi belum sempurna anak menjadi lebih rentan mengalami alergi saluran napas. Meski awalnya hanya sekadar sesak napas, proses inflamasi atau peradangan yang terus terakumulasi menyebabkan penyakit asma semakin parah ketika menimpa anak-anak.
Spesialis paru dari RS Persahabatan Jakarta, dr Budhi Antariksa PhD,mengatakan bahwa suatu asma bisa didasari oleh alergi pada saluran napas yang lantas menyebabkan peradangan. Manifestasinya bisa beragam dan di organ mana saja. Misalnya seseorang yang saat makan seafood kulitnya menjadi kemerahan, berarti dia menderita alergi yang manifestasinya di kulit. Contoh lainnya, jika ada orang yang setiap pagi bersin-bersin sambil mengucek-ngucek hidungnya yang meler,berarti lokasi alerginya di rongga hidungnya.
"Asma tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dikontrol dan dicegah kekambuhannya dengan menghindari faktor pencetusnya. Jika ada anggota keluarga yang terkena asma, kebersihan lingkungan harus benar-benar dijaga," saran Budhi.
Ibu Depresi, Asma Anak Sering Kambuh
Ibu adalah "teman terdekat" anak sejak bayi. Jika ibu bahagia, anak pun ceria. Manakala ibu sedih atau marah, anak bisa ikut menderita. Nah, jika Anda seorang ibu yang memiliki anak pengidap asma, sebisa mungkin jauhilah kondisi yang bisa memicu stres dan depresi. Apa pasal?
Sebuah studi terbaru yang dilakukan tim peneliti dari The Johns Hopkins Children's Center Amerika mengungkapkan, depresi yang dialami ibu dapat memperburuk kondisi asma sang anak.
Penelitian yang melibatkan 262 partisipan ibu kulit hitam beserta anaknya ini, mendapati bahwa anak yang ibunya mengalami lebih banyak gejala depresi, juga lebih sering menampakkan gejala asma. Begitu pun anak-anak dari ibu dengan gejala depresi lebih sedikit juga lebih jarang mengalami kekambuhan asma.
Studi yang akan segera diterbitkan dalam Journal of Pediatric Psychology ini memang sengaja difokuskan pada warga kulit hitam. Pasalnya, prevalensi dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
Kristin Riekert yang tergabung dalam tim investigasi penelitian ini, juga mengungkapkan temuan fakta "unik" terkait hubungan antara banyaknya depresi ibu dan meningkatnya frekuensi gejala asma pada anaknya. Manakala derajat depresi ibu memengaruhi gejala asma anak, ternyata hal ini tidak berlaku untuk kebalikannya. Ini menunjukkan bahwa depresi ibu adalah sebuah faktor risiko yang berdiri sendiri, yang dapat memprediksi serangkaian gejala asma pada anak. Riekert mengira awalnya studi ini akan berhadapan dengan situasi: "Duluan mana telur sama ayam?".
"Nyatanya, fakta bahwa depresi ibu tidak dipengaruhi frekuensi kemunculan gejala asma pada anaknya membuat kami heran, tetapi sekaligus terjawab faktor mana yang sebenarnya muncul lebih dulu," kata psikolog anak dari Johns Hopkins Adherence Research Center itu.
Depresi, suatu gangguan alam perasaan yang ditandai rasa sedih dan murung ini, juga kerap membuahkan kelelahan, hilang ingatan, dan gangguan konsentrasi. Saat seorang ibu terkena depresi, semangatnya dalam merawat asma anaknya (semisal mengingatkan meminum obat setiap hari dan konsultasi ke dokter) juga bisa menurun.
"Ibu adalah tulang punggung untuk menerapkan petunjuk yang diamanatkan dokter dalam hal perawatan rutin asma anaknya. Namun jika ibu depresi, amanat ini tidak dapat terlaksana sehingga anaknya ikut menjadi korban dan menderita," ujar kepala tim penelitian Michiko Otsuki.(okz) www.suaramedia.com
0 komentar