Dengan teknologi itu, gen dari berbagai sumber dapat dipindahkan ke tanaman. Gen bisa berasal dari manusia, binatang, tumbuhan lain, bakteri, virus, bahkan DNA telanjang yang ditemukan di tanah. Gen adalah kumpulan asam deoksiribo nukleat (DNA) yang mengatur dan mengendalikan sifat makhluk hidup. Ada gen yang mengatur mengapa buah tomat ketika masak berwarna merah, kera memiliki ekor, atau manusia Indonesia berambut hitam.
Bahkan, gen dalam batas-batas tertentu mengendalikan mengapa seseorang cenderung bertindak agresif dan jahat sedangkan lainnya lemah- lembut. Hingga saat ini sudah ratusan gen dari berbagai sumber yang berhasil dipindahkan ke tanaman dan memunculkan ratusan jenis varietas tanamana baru, disebut tanaman transgenik. Sebagian besar tanaman transgenik belum dipasarkan.
Hingga tahun 2000, baru 24 jenis varietas tanaman transgenik dikomersialisasikan di Amerika. Tahun ini diperkirakan lebih dari 30 varietas tanaman transgenik dipasarkan.
Saat ini ada empat Tanaman Transgenik utama yaitu:
1). Kedelai transgenik yang menguasai 36 persen dari 72 juta hektar (ha) area global tanaman kedelai,
2). Kapas transgenik yang mencakup 36 persen dari 34 juta hektar,
3). Kanola transgenik , 11 persen dari 25 juta hektar,
dan 4). Jagung transgenik, 7 persen dari 140 juta hektar.
Berdasarkan luas area penanaman dan sifat baru yang disisipkan, kedelai transgenik tahan herbisida menduduki ranking pertama (25,8 juta hektar) diikuti jagung Bt (tahan ulat pengerek), kanola tahan herbisida, jagung tahan herbisida, kapas tahan herbisida, kapas Bt dan tahan herbisida, kapas Bt, serta jagung Bt dan tahan herbisida.
Masuk Indonesia Bahan pangan dari tanaman transgenik sudah barang tentu masuk pula ke Indonesia, terutama kedelai dan jagung transgenik. Hingga saat ini Pemerintah belum melakukan kajian untuk menetapkan jenis kedelai, jagung, dan bahan pangan transgenik apa yang boleh masuk di Indonesia. Negara-negara lain seperti Jepang, Uni Eropa, Korea, Taiwan, Australia, Singapura, beberapa negara Timur Tengah, serta Erropa Timur, menetapkan standar dan melakukan sendiri analisis keamanan pangan terhadap produk-produk transgenik impor. Ketiakmampuan menetapkann jenis bahan pangan transgenik yang boleh masuk berisiko bagi pengusaha makanan yang berorientasi ekspor.
Karena, bila bahan transgenik itu dilarang d negara tujuan ekspor, maka produknya akan ditolak. Kemampuan Pemerintah melacak dan mengendalikan distribusi bahan pangan transgenik juga berperan penting. Hingga saat ini kita tidak tahu kemana bahan tersebut beredar serta digunakan untuk apa. Boleh jadi bahan tersebut yang seharusnya untuk pakan, karena ketidaktahuan masyarakat atau petani kemudian ditanam. Melalui penyerbukan silang (sifat ini sangat dominan pada jagung transgenik), jagung lain yang non transgenik segera berubah menjadi transgenik. Penolakan masyarakat Eropa, Jepang, dan Amerika menyebabkan pangsa pasar produk pertanian bukan transgenik (non-GMO) meningkat pesat. Hal ini sebenarnya menjadi kesempatan emas petani-petani Indonesia dengan dukungan Pemerintah.
Resiko Kesehatan Negara yang melakukan penanaman komersial produk transgenik biasanya melakukan analisis keamanannya, termasuk konsekuensi langsung dan tidak langsung. Konsekuensi langsung, misalnya, kajian apakah terjadi perubahan nutrisi, munculnya efek alergi, atau toksisitas akibat rekayasa genetika. Konsekuensi tidak langsung, misalnya, efek baru yang muncul akibat transfer gen, perubahan level ekspresi gen pada tanaman sasaran, serta pengaruhnya terhadap metabolisme tanaman. Beberapa efek lain yang seringkali tidak dsapat diantisipasi perlu juga dikaji, misalnya, gene silencing, interupsi sekuens penyandi, atau berubahnya sistem regulasi gen-gen. Karena pangan merupakan hal yang sangart kompleks, maka kajian keamanan pangan yang sederhana( sebagai contoh menganalisis kandungan peptisida, logam berat, dan senyawa toksik dalm pangan) tidak dapat dilakukan. Berkait dengan pangan transgenik dikembangkan pendekatan substantial equivalence, yaitu membandingkan pangan transgenik dengan pangan konvensionalnya.
Bila keduanya sama (tidak berarti harus identik), memiliki status nutrisi sama serta serta tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan, maka pangan transgenik tersebut aman dikonsumsi. Namun kontroversi masih terjadi, karena sebagai produk teknologi baru risiko jangka panjangnya belum diketahui. Ilmuawan sendiri, tidak akan pernah mampu menyatakan bahwa suatu produk 100 persen aman karena risiko sekecil apapun akan tetap ada. Resiko ini juga berkait dengan pola konsumsi. Di AS, misalnya, kedelai rata-rata melalui proses pengolahan panjang sehingga DNA maupun protein transgenik rusak sebelum dokonsumsi. Di Indonesia, kedelai hanya melalui proses pengolahan pendek sebelum menjadi tempe atau tahu. (Dwi Andreas Santosa, ahli genetika molekuler)
Lebih Jauh Tentang Transgenik - IDEP Foundation
0 komentar